Misteri "Ayat-ayat Cinta" R.A. Kartini
Oleh : Dr. Dito Anurogo | 21-Apr-2008, 01:56:17 WIB
Perempuan dapat merubah dunia dengan cara menulis apa yang dipikirkannya dan dirasakannya agar tercipta suara baru,
dunia baru dan makna-makna baru.
(Helene Cixous, seorang tokoh feminis Postmoderen Perancis)
Pendahuluan
KabarIndonesia - Waktu boleh bergerak dan berubah, namun sejarah tak pernah lelah atau salah untuk menceritakan dirinya meski harus dengan tinta air mata dan darah.
-- 00 --
Begitu hebat R.A. Kartini! Sampai-sampai Lady Roosevelt menyitir salah satu surat R.A. Kartini dalam salah satu pidatonya di hadapan Komisi Hak Asasi Manusia yang dipimpinnya dalam rangka merumuskan Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia.
Begitu besar jasa RA Kartini! Hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
-- 00 --
Tentang R.A. Kartini, manusia (Indonesia) boleh saja melupakan, namun sejarah yang selalu menceritakannya.
Manusia bolehlah lengah... namun... biarlah... marilah kita simak sejarah yang akan berkisah... tentang R.A. Kartini berikut ini...
-- 00 --
Putri Bangsawan yang Senang Membaca
Dilahirkan menjadi seorang putri berdarah biru dari pasangan R.M.A.A Sosroningrat dan M.A. Ngasirah tidaklah membuat R.A. Kartini malas.
Pemilik nama lengkap Raden Adjeng Kartini ini, sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini mengingat status kebangsawanannya, amat rajin dan senang membaca. Saat usianya belum genap 20 tahun, Kartini kecil sudah "melahap" Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Belum lagi De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, lalu Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata) roman anti-perang karya Berta Von Suttner.
Belum lagi roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, ditambah buku-buku karya Van Eeden dan Augusta de Witt. Hebatnya, semua buku yang dibaca Kartini kecil berbahasa Belanda!
Hal ini dapat dimaklumi mengingat hingga usia 12 tahun, R.A. Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sinilah adik Sosrokartono ini memperdalam pengetahuannya tentang bahasa Belanda.
Putri Bersahaja yang Pemikirannya Mencerahkan Dunia
Kemampuan R.A. Kartini dalam bahasa Belanda membuatnya lebih bersemangat dalam membaca dan menulis. Meskipun setelah berusia 12 tahun ia dipingit, bukan berarti ia berhenti belajar. Bahkan ia memiliki banyak waktu luang untuk membaca, salah satu bacaannya adalah surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh oleh Pieter Brooshooft, di samping majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.
Dalam hal menulis, kepiawaian ibu dari RM Soesalit ini tak perlu diragukan lagi. Terbukti tulisan-tulisannya sering dimuat di De Hollandsche Lelie. Ditambah lagi ide-idenya tentang kebebasan wanita untuk menuntut ilmu dan belajar. Hal ini terungkap dalam salah satu suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901:
"Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya."
Tak hanya menyoroti soal pendidikan untuk kaumnya, R.A. Kartini juga amat peduli pada adat-istiadat dan budaya Jawa. Hal ini terungkap dari suratnya kepada Stella, 18 Agustus 1899:
"Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan ber-engkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar"."
R.A. Kartini juga "amat membenci" tata krama ala keraton yang dirasakan amat menyiksa dirinya. Ini terungkap dari suratnya kepada Stella, 18 Agustus 1899:
"Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan."
Tampaknya R.A. Kartini amat mendambakan kebebasan dan kemerdekaan dalam segala hal terutama untuk kaumnya, yang dapat juga diistilahkan dengan emansipasi wanita. Hal ini terungkap dari suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899:
"Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata "Emansipasi" belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi di kala itu telah hidup di dalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri."
Tentang keinginan R.A. Kartini untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda terungkap melalui suratnya kepada Ny. Ovink Soer, 1900:
"Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih."
R.A. Kartini amat membenci mereka yang hanya membanggakan keturunannya saja (misalnya anak raja, anak bupati) namun tidak tajam pemikirannya. Hal ini terungkap dalam suratnya kepada Nona Zeehander, 18 Agustus 1899:
"Bagi saja ada dua macam bangsawan, ialah bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidaklah yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya dari pada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya."
Putri Jenius yang Bercita-cita Menjadi Dokter
Tak banyak orang yang mengetahui bahwa sebenarnya R.A. Kartini pernah bercita-cita menjadi dokter, meskipun akhirnya impian itu ia urungkan karena sang Ayah melarangnya untuk mendaftar sekolah kedokteran di Betawi. Hal itu tersirat dalam surat yang dikirim oleh R.A.Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya R.M.Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku Door Duisternis to Licht. Demikian kira-kira terjemahan surat itu:
"Saja ada satoe Botjah-Boedha, maka itoe ada mendjadi satoe alesan mengapa saja kini tiada memakan barang berdjiwa. Ketika saja masih anak-anak, saja telah dapat sakit keras, dokter-dokter tidak bisa menolong, mereka poetoes asah. Waktoe itoe, seorang Tionghoa (seorang hoekoeman dengan siapa kita masih anak-anak soeka bersahabatan) tawarkan dirinja boeat menolong saja. Saja poenja orang toea menoeroet dan saja betoel-betoel djadi semboeh. Apa jang obat-obatan dari orang-orang terpeladjar tidak mampoe, djoestroe obat-tachajoel jang menolongnja. Ia menolong saja dengan tjoema-tjoema, saja disoeroe minoem aboe dari hioswa jang dibakar sebagi sembah-bakti pada satoe Tepekong Tionghoa. Lantaran minoem obat itoe saja djadi anaknja Orang Soetji itoe, Santikkong Welahan. Pada kira-kira satoe tahoen jang laloe saja mengoenjoengi Orang Soetji itoe. Ia ada hanja satoe Patoeng Emas jang ketjil dan siang malam dilipoeti asep hio. Bilamana ada berdjangkit wabah penjakit heibat, patoeng ketjil ini digotong-gotong kesana-sini dengan pake oepatjara boeat oesir pengaroeh djahat dari iblis-iblis."
Jika kita memahami pemikiran R.A. Kartini di atas, jelaslah bahwa ia amat menghargai pengobatan alternatif yang dianggap terbelakang oleh kedokteran Belanda dan Barat. Namun ia jelas menentang praktek perdukunan yang seringkali dianut masyarakat awam.
Sebagai kaum muda terpelajar yang bercita-cita melanjutkan studi kedokteran di Betawi (tapi ayahnya melarangnya) Kartini tentu paham benar bahwa penyakit bukan disebabkan oleh arwah jahat yang dapat diusir dengan asap. Meskipun demikian, ia menghargai upaya pengobatan dengan cara demikian.
Misteri "Ayat-ayat Cinta" R.A. Kartini
"Ayat-ayat Cinta" yang ditulis R.A. Kartini bukanlah cinta sepasang kekasih, namun cinta pada bangsa atau dengan kata lain nasionalisme. Nasionalisme itu terungkap dalam ide dan cita-cita R.A. Kartini tentang Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, yang disebut belakangan ini di dalam arti Innallaha jamillun yuhibbuljamal = Tuhan itu indah dan berkenan akan keindahan); ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air), maka genaplah prinsip-prinsip itu lima buah jumlahnya.
"Ayat-ayat Cinta" R.A. Kartini juga tampak dari kumpulan surat-suratnya yang pertama kali diterbitkan dalam sebuah buku berjudul "Door Duisternis Tot Licht" pada tahun 1911. Buku tersebut disusun oleh JH Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini yang saat itu menjabat sebagai menteri (direktur) kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada tahun 1922, Door Duisternis Tot Licht diterjemahkan oleh Empat Saudara ke dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran.
Pada tahun 1978, buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, dengan Armijn Pane sebagai penerjemah. Buku setebal 214 halaman ini dibagi oleh Armijn Pane menjadi lima bab:
1. Dirundung cita-cita, dihambar kasih sayang
2. Batu alangan hampir terguling banyak berubah dalam rohani
3. Batu besar penghalang jalan telah terguling,
telah berubah di jiwa kami
4. Lama dirindukan, dapat dilepaskan
5. Di samping laki-laki, di situ makbul cita-cita
Tentang buku Habis Gelap Terbitlah Terang, ada analisis dari Nova Christina yang dimuat Kompas 19 April 2003 yang amat menarik untuk dibaca sebagai berikut ini:
Pembahasan atau bab pertama berjudul: Dirundung cita-cita, dihambar kasih sayang. Surat-surat Kartini pada bagian ini terutama berisi harapannya untuk memperoleh "pertolongan" dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia ungkapkan juga tentang pandangan: dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." (hlm 45).
Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan "tersedia" untuk dimadu pula. Pada bab awal ini, gugatan-gugatan Kartini ditampilkan untuk menggambarkan kekritisannya sebagai perempuan Jawa.
Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan menyajikan surat-surat Kartini yang isinya banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
Penutup
Sebelum diakhiri, marilah kita renungkan perkataan Nursyahbani Katjasungkana saat berbicara di dalam acara peluncuran buku Panggil Aku Kartini Saja di Cimanggis,21 April 1997:
"Bahwa Kartini adalah seorang perempuan yang hebat, itu tak usah kita ragukan lagi. Bahwa surat-suratnya penuh dengan informasi penting pada zaman itu, tak mungkin kita pungkiri. Bahwa buah pikirannya yang tertuang dalam surat-suratnya menjadi inspirasi banyak tokoh pergerakan kemerdekaan kita, adalah hal yang banyak diakui orang. Saya tak akan mengulang ulang puja-puji yang telah banyak disampaikan orang terhadap kehebatan Kartini, karena di samping akan mengurangi makna ketokohannya sendiri saya kira Kartini lewat surat-suratnya telah berbicara banyak untuk dirinya sendiri."
The last but not least, akhirnya kita perlu menyadari kebenaran pernyataan berikut ini:
"Ketahuilah tujuanmu, jalankanlah perjuanganmu itu dengan ulet, bersatupadulah dengan kawan-kawan kita laki-laki. Terutama sekali berhati beranilah! Tiada perjuangan pernah mencapai kemenangan, jika tidak dengan senjata keberanian hati."
(Vera Sassulitsch, sebagaimana dikutip oleh Ir.Sukarno dalam Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia, Cet III, 1963: 224)
-- 00 --
Fakta Singkat tentang R.A. Kartini
Nama Lengkap: Raden Adjeng Kartini
Lahir: 21 April 1879 di Jepara,
Ayah: R.M.A.A Sosroningrat (Bupati Jepara)
Ibu: M.A. Ngasirah
Status: anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini merupakan anak perempuan tertua.
Agama: Islam
Menikah: 12 November 1903
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat (Bupati Rembang, sudah pernah memiliki tiga istri)
Anak: RM Soesalit (lahir pada 13 September 1904)
Cita-cita:
1. melanjutkan studi, terutama ke Eropa
2. melanjutkan studi menjadi guru di Betawi
3. melanjutkan studi kedokteran di Betawi
Sahabat Pena:
1. JH Abendanon
2. Rosa Abendanon
3. Estelle "Stella" Zeehandelaar
Penghargaan:
1. Pahlawan Nasional Indonesia
2. Pelopor kebangkitan perempuan pribumi
Wafat: 17 September 1904 di Rembang (dalam usia 25 tahun)
Makam: di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang
-- 00 --
Referensi:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/id:Special:Search/Kartini
2. http://id.wikiquote.org/wiki/id:Kartini
3. http://id.wikiquote.org/w/index.php?title=Kartini&printable=yes
4. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Raden_Ayu_Kartini&printable=yes
5. http://www.radix.net/~bardsley/wied.html
6. http://jv.wikipedia.org/w/index.php?title=Habis_Gelap_Terbitlah_Terang&printable=yes
Sumber Gambar:
http://sayapbarat.files.wordpress.com/2007/08/kartini_1.jpg
Tentang Penulis:
Dito Anurogo is a member of International Federation of Medical Students' Associations (IFMSA) and Center for Indonesian Medical Students' Activities (CIMSA). Email: ditoanurogo@gmail.com
Oleh : Dr. Dito Anurogo | 21-Apr-2008, 01:56:17 WIB
Perempuan dapat merubah dunia dengan cara menulis apa yang dipikirkannya dan dirasakannya agar tercipta suara baru,
dunia baru dan makna-makna baru.
(Helene Cixous, seorang tokoh feminis Postmoderen Perancis)
Pendahuluan
KabarIndonesia - Waktu boleh bergerak dan berubah, namun sejarah tak pernah lelah atau salah untuk menceritakan dirinya meski harus dengan tinta air mata dan darah.
-- 00 --
Begitu hebat R.A. Kartini! Sampai-sampai Lady Roosevelt menyitir salah satu surat R.A. Kartini dalam salah satu pidatonya di hadapan Komisi Hak Asasi Manusia yang dipimpinnya dalam rangka merumuskan Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia.
Begitu besar jasa RA Kartini! Hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
-- 00 --
Tentang R.A. Kartini, manusia (Indonesia) boleh saja melupakan, namun sejarah yang selalu menceritakannya.
Manusia bolehlah lengah... namun... biarlah... marilah kita simak sejarah yang akan berkisah... tentang R.A. Kartini berikut ini...
-- 00 --
Putri Bangsawan yang Senang Membaca
Dilahirkan menjadi seorang putri berdarah biru dari pasangan R.M.A.A Sosroningrat dan M.A. Ngasirah tidaklah membuat R.A. Kartini malas.
Pemilik nama lengkap Raden Adjeng Kartini ini, sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini mengingat status kebangsawanannya, amat rajin dan senang membaca. Saat usianya belum genap 20 tahun, Kartini kecil sudah "melahap" Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Belum lagi De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, lalu Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata) roman anti-perang karya Berta Von Suttner.
Belum lagi roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, ditambah buku-buku karya Van Eeden dan Augusta de Witt. Hebatnya, semua buku yang dibaca Kartini kecil berbahasa Belanda!
Hal ini dapat dimaklumi mengingat hingga usia 12 tahun, R.A. Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sinilah adik Sosrokartono ini memperdalam pengetahuannya tentang bahasa Belanda.
Putri Bersahaja yang Pemikirannya Mencerahkan Dunia
Kemampuan R.A. Kartini dalam bahasa Belanda membuatnya lebih bersemangat dalam membaca dan menulis. Meskipun setelah berusia 12 tahun ia dipingit, bukan berarti ia berhenti belajar. Bahkan ia memiliki banyak waktu luang untuk membaca, salah satu bacaannya adalah surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh oleh Pieter Brooshooft, di samping majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.
Dalam hal menulis, kepiawaian ibu dari RM Soesalit ini tak perlu diragukan lagi. Terbukti tulisan-tulisannya sering dimuat di De Hollandsche Lelie. Ditambah lagi ide-idenya tentang kebebasan wanita untuk menuntut ilmu dan belajar. Hal ini terungkap dalam salah satu suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901:
"Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya."
Tak hanya menyoroti soal pendidikan untuk kaumnya, R.A. Kartini juga amat peduli pada adat-istiadat dan budaya Jawa. Hal ini terungkap dari suratnya kepada Stella, 18 Agustus 1899:
"Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan ber-engkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar"."
R.A. Kartini juga "amat membenci" tata krama ala keraton yang dirasakan amat menyiksa dirinya. Ini terungkap dari suratnya kepada Stella, 18 Agustus 1899:
"Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan."
Tampaknya R.A. Kartini amat mendambakan kebebasan dan kemerdekaan dalam segala hal terutama untuk kaumnya, yang dapat juga diistilahkan dengan emansipasi wanita. Hal ini terungkap dari suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899:
"Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata "Emansipasi" belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi di kala itu telah hidup di dalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri."
Tentang keinginan R.A. Kartini untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda terungkap melalui suratnya kepada Ny. Ovink Soer, 1900:
"Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih."
R.A. Kartini amat membenci mereka yang hanya membanggakan keturunannya saja (misalnya anak raja, anak bupati) namun tidak tajam pemikirannya. Hal ini terungkap dalam suratnya kepada Nona Zeehander, 18 Agustus 1899:
"Bagi saja ada dua macam bangsawan, ialah bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidaklah yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya dari pada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya."
Putri Jenius yang Bercita-cita Menjadi Dokter
Tak banyak orang yang mengetahui bahwa sebenarnya R.A. Kartini pernah bercita-cita menjadi dokter, meskipun akhirnya impian itu ia urungkan karena sang Ayah melarangnya untuk mendaftar sekolah kedokteran di Betawi. Hal itu tersirat dalam surat yang dikirim oleh R.A.Kartini pada 27 Oktober 1902 kepada nyonya R.M.Abendanon-Mandri seperti yang dimuat dalam buku Door Duisternis to Licht. Demikian kira-kira terjemahan surat itu:
"Saja ada satoe Botjah-Boedha, maka itoe ada mendjadi satoe alesan mengapa saja kini tiada memakan barang berdjiwa. Ketika saja masih anak-anak, saja telah dapat sakit keras, dokter-dokter tidak bisa menolong, mereka poetoes asah. Waktoe itoe, seorang Tionghoa (seorang hoekoeman dengan siapa kita masih anak-anak soeka bersahabatan) tawarkan dirinja boeat menolong saja. Saja poenja orang toea menoeroet dan saja betoel-betoel djadi semboeh. Apa jang obat-obatan dari orang-orang terpeladjar tidak mampoe, djoestroe obat-tachajoel jang menolongnja. Ia menolong saja dengan tjoema-tjoema, saja disoeroe minoem aboe dari hioswa jang dibakar sebagi sembah-bakti pada satoe Tepekong Tionghoa. Lantaran minoem obat itoe saja djadi anaknja Orang Soetji itoe, Santikkong Welahan. Pada kira-kira satoe tahoen jang laloe saja mengoenjoengi Orang Soetji itoe. Ia ada hanja satoe Patoeng Emas jang ketjil dan siang malam dilipoeti asep hio. Bilamana ada berdjangkit wabah penjakit heibat, patoeng ketjil ini digotong-gotong kesana-sini dengan pake oepatjara boeat oesir pengaroeh djahat dari iblis-iblis."
Jika kita memahami pemikiran R.A. Kartini di atas, jelaslah bahwa ia amat menghargai pengobatan alternatif yang dianggap terbelakang oleh kedokteran Belanda dan Barat. Namun ia jelas menentang praktek perdukunan yang seringkali dianut masyarakat awam.
Sebagai kaum muda terpelajar yang bercita-cita melanjutkan studi kedokteran di Betawi (tapi ayahnya melarangnya) Kartini tentu paham benar bahwa penyakit bukan disebabkan oleh arwah jahat yang dapat diusir dengan asap. Meskipun demikian, ia menghargai upaya pengobatan dengan cara demikian.
Misteri "Ayat-ayat Cinta" R.A. Kartini
"Ayat-ayat Cinta" yang ditulis R.A. Kartini bukanlah cinta sepasang kekasih, namun cinta pada bangsa atau dengan kata lain nasionalisme. Nasionalisme itu terungkap dalam ide dan cita-cita R.A. Kartini tentang Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, yang disebut belakangan ini di dalam arti Innallaha jamillun yuhibbuljamal = Tuhan itu indah dan berkenan akan keindahan); ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air), maka genaplah prinsip-prinsip itu lima buah jumlahnya.
"Ayat-ayat Cinta" R.A. Kartini juga tampak dari kumpulan surat-suratnya yang pertama kali diterbitkan dalam sebuah buku berjudul "Door Duisternis Tot Licht" pada tahun 1911. Buku tersebut disusun oleh JH Abendanon, salah seorang sahabat pena Kartini yang saat itu menjabat sebagai menteri (direktur) kebudayaan, agama, dan kerajinan Hindia Belanda.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada tahun 1922, Door Duisternis Tot Licht diterjemahkan oleh Empat Saudara ke dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran.
Pada tahun 1978, buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, dengan Armijn Pane sebagai penerjemah. Buku setebal 214 halaman ini dibagi oleh Armijn Pane menjadi lima bab:
1. Dirundung cita-cita, dihambar kasih sayang
2. Batu alangan hampir terguling banyak berubah dalam rohani
3. Batu besar penghalang jalan telah terguling,
telah berubah di jiwa kami
4. Lama dirindukan, dapat dilepaskan
5. Di samping laki-laki, di situ makbul cita-cita
Tentang buku Habis Gelap Terbitlah Terang, ada analisis dari Nova Christina yang dimuat Kompas 19 April 2003 yang amat menarik untuk dibaca sebagai berikut ini:
Pembahasan atau bab pertama berjudul: Dirundung cita-cita, dihambar kasih sayang. Surat-surat Kartini pada bagian ini terutama berisi harapannya untuk memperoleh "pertolongan" dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia ungkapkan juga tentang pandangan: dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." (hlm 45).
Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan "tersedia" untuk dimadu pula. Pada bab awal ini, gugatan-gugatan Kartini ditampilkan untuk menggambarkan kekritisannya sebagai perempuan Jawa.
Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan menyajikan surat-surat Kartini yang isinya banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
Penutup
Sebelum diakhiri, marilah kita renungkan perkataan Nursyahbani Katjasungkana saat berbicara di dalam acara peluncuran buku Panggil Aku Kartini Saja di Cimanggis,21 April 1997:
"Bahwa Kartini adalah seorang perempuan yang hebat, itu tak usah kita ragukan lagi. Bahwa surat-suratnya penuh dengan informasi penting pada zaman itu, tak mungkin kita pungkiri. Bahwa buah pikirannya yang tertuang dalam surat-suratnya menjadi inspirasi banyak tokoh pergerakan kemerdekaan kita, adalah hal yang banyak diakui orang. Saya tak akan mengulang ulang puja-puji yang telah banyak disampaikan orang terhadap kehebatan Kartini, karena di samping akan mengurangi makna ketokohannya sendiri saya kira Kartini lewat surat-suratnya telah berbicara banyak untuk dirinya sendiri."
The last but not least, akhirnya kita perlu menyadari kebenaran pernyataan berikut ini:
"Ketahuilah tujuanmu, jalankanlah perjuanganmu itu dengan ulet, bersatupadulah dengan kawan-kawan kita laki-laki. Terutama sekali berhati beranilah! Tiada perjuangan pernah mencapai kemenangan, jika tidak dengan senjata keberanian hati."
(Vera Sassulitsch, sebagaimana dikutip oleh Ir.Sukarno dalam Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia, Cet III, 1963: 224)
-- 00 --
Fakta Singkat tentang R.A. Kartini
Nama Lengkap: Raden Adjeng Kartini
Lahir: 21 April 1879 di Jepara,
Ayah: R.M.A.A Sosroningrat (Bupati Jepara)
Ibu: M.A. Ngasirah
Status: anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini merupakan anak perempuan tertua.
Agama: Islam
Menikah: 12 November 1903
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat (Bupati Rembang, sudah pernah memiliki tiga istri)
Anak: RM Soesalit (lahir pada 13 September 1904)
Cita-cita:
1. melanjutkan studi, terutama ke Eropa
2. melanjutkan studi menjadi guru di Betawi
3. melanjutkan studi kedokteran di Betawi
Sahabat Pena:
1. JH Abendanon
2. Rosa Abendanon
3. Estelle "Stella" Zeehandelaar
Penghargaan:
1. Pahlawan Nasional Indonesia
2. Pelopor kebangkitan perempuan pribumi
Wafat: 17 September 1904 di Rembang (dalam usia 25 tahun)
Makam: di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang
-- 00 --
Referensi:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/id:Special:Search/Kartini
2. http://id.wikiquote.org/wiki/id:Kartini
3. http://id.wikiquote.org/w/index.php?title=Kartini&printable=yes
4. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Raden_Ayu_Kartini&printable=yes
5. http://www.radix.net/~bardsley/wied.html
6. http://jv.wikipedia.org/w/index.php?title=Habis_Gelap_Terbitlah_Terang&printable=yes
Sumber Gambar:
http://sayapbarat.files.wordpress.com/2007/08/kartini_1.jpg
Tentang Penulis:
Dito Anurogo is a member of International Federation of Medical Students' Associations (IFMSA) and Center for Indonesian Medical Students' Activities (CIMSA). Email: ditoanurogo@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar